Sebuah Pertanyaan?????
Kamis, 18 Mei 2017
Edit
Frase ‘Bila kata bisa membunuh’ mungkin mengandung arti lebih kasatmata dari yang saya sadari. Saya percaya kata-kata merupakan hal yang sangat bermakna. Dunia tercipta pada mulanya ialah alasannya ialah kata-kata dari Tuhan. Kemampuan untuk tata jalma (= berbicara/menggunakan bahasa) pun ialah bukti yang besar akan kasih sayang Tuhan pada manusia.
Saya, dalam taraf tertentu, percaya jikalau kata-kata memang bisa membunuh dalam arti harfiah. Atau setidaknya menciptakan orang gelisah dan menjauhkan tidur dari malam-malam yang beliau miliki.
Beberapa waktu kemudian seorang sobat memberi saya pertanyaan yang masuk dalam kategori menguatkan arti frase itu. Pertanyaan itu ialah ibarat ini:
“Sampai sejauh mana saya boleh mencintaimu alasannya ialah kamu milik orang lain?”
Saya tidak bisa menghilangkan pertanyaan itu dari kepala saya untuk waktu yang lama. Terutama alasannya ialah pertanyaan itu diajukan dengan maksud untuk menerima balasan yang serius dan bertanggungjawab sementara saya merasa saya tidak bisa menawarkan balasan yang demikian.
Ada tiga unsur dalam pertanyaan itu yaitu ‘sejauh mana’, ‘boleh mencintai’, dan ‘milik orang lain’ yang saya merasa tidak bisa melihat titik kesetaraan dari ketiganya yang memungkinkan mereka untuk dipakai dalam sebaris kalimat yang padu.
‘Sejauh mana’ menuntut balasan dalam satuan jarak atau paling tidak sebuah batas. Bagaimana sesuatu yang nirinderawi sanggup diberi jarak dan batas? Apakah apabila saya menjawab “Seperti cinta yang kamu gunakan untuk mengasihi dirimu sendiri” akan dikatakan lebih besar nilainya daripada balasan “Yah, kira-kira cukup untuk menciptakan hatimu tidak merasa sepi”? Tentu saja tidak. Sebuah jarak atau batas sanggup menjadi sangat abstrak dan ambigu dalam sudut pengertiannya.
‘Boleh mencintai’ menciptakan saya berpikir apakah sobat saya itu berpikir jikalau saya telah melaksanakan kesalahan dengan menyampaikan jikalau saya mengasihi dia. Saya selalu mengaitkan antara kata-kata ‘boleh dan tidak boleh’ dengan ‘terhormat dan tidak terhormat’. Kalau saya melaksanakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan saya merasa saya sedang melaksanakan sesuatu yang tidak terhormat. Entah bagaimana bisa demikian saya sendiri tidak tahu, mungkin terpengaruh dengan bagaimana saya dibesarkan.
Suatu saat Umar ra mendengar seseorang bercerita kepadanya bahwa seseorang sedang dilanda cinta. Umar ra berkata “Itu bukan hal yang bisa dihindari. Itu merupakan ketetapan dari Ar Rahman.”
Saya membawakan hadits ini bukan sebagai pembelaan bahwa cinta itu selalu benar dan diperbolehkan. Ada banyak cinta yang dipandang dan ditunjukkan dengan cara yang salah dan merusak. Tapi saya tidak sedang membicarakan dilema yang demikian. Cinta itu berbeda dengan rasa yang lain. Cinta bukanlah sebuah pilihan. Seseorang sanggup saja menentukan untuk tidak marah-marah tapi beliau tidak bisa menentukan untuk tidak mengasihi saat sedang ada cinta di hatinya. Cinta itu semacam flora yang hanya bisa ditanam dan dicabut oleh yang memberikannya yaitu Tuhan. Seseorang tidak bisa tidak boleh atau disuruh untuk mencintai. Saya eksklusif beropini cinta itu bukan sesuatu yang terlarang atau tidak baik. Tidak selama kita tidak membenturkannya dengan nilai-nilai, atau angan-angan, atau rasa memiliki, atau mengambil tindakan untuk memperlihatkan secara kasatmata ketiga hal itu.
‘Milik orang lain’ ialah frase yang paling tidak saya pahami dari kalimat itu. Memiliki orang lain ialah sesuatu yang rasanya menyinggung sisi kemanusiaan saya. Betapapun besar cinta seseorang kepada orang lain, hal itu tetap saja bukan alasan baginya untuk merasa mempunyai orang itu. Memiliki yang saya maksud disini ialah mempunyai dalam pengertian fundamental bagi sebuah klaim kepemilikan, bukan pengertian secara umum. Karena jikalau contohnya ada orang yang bertanya pada saya “Are you single?” maka sudah terang saya akan menjawab “No, I belong to him.” Klaim kepemilikan mutlak hanya boleh dinyatakan oleh Tuhan saja.
Pertanyaan yang menggelisahkan itu tidak hanya menciptakan saya berpikir keras tetapi juga menciptakan saya memandang pada diri saya sendiri. Barangkali itulah gunanya teman. Memicu timbulnya kesadaran kita untuk memperbaiki diri. Saya berterimakasih untuk pertanyaan itu, untuk kegelisahan saya dan juga untuk beberapa pemahaman yang tiba pada saya berkaitan dengan hal itu. Saya merasa saya diberkati walaupun rasanya masih perlu waktu yang usang sebelum saya bisa menawarkan balasan yang serius dan bertanggungjawab terhadap pertanyaan itu.
Saya, dalam taraf tertentu, percaya jikalau kata-kata memang bisa membunuh dalam arti harfiah. Atau setidaknya menciptakan orang gelisah dan menjauhkan tidur dari malam-malam yang beliau miliki.
Beberapa waktu kemudian seorang sobat memberi saya pertanyaan yang masuk dalam kategori menguatkan arti frase itu. Pertanyaan itu ialah ibarat ini:
“Sampai sejauh mana saya boleh mencintaimu alasannya ialah kamu milik orang lain?”
Saya tidak bisa menghilangkan pertanyaan itu dari kepala saya untuk waktu yang lama. Terutama alasannya ialah pertanyaan itu diajukan dengan maksud untuk menerima balasan yang serius dan bertanggungjawab sementara saya merasa saya tidak bisa menawarkan balasan yang demikian.
Ada tiga unsur dalam pertanyaan itu yaitu ‘sejauh mana’, ‘boleh mencintai’, dan ‘milik orang lain’ yang saya merasa tidak bisa melihat titik kesetaraan dari ketiganya yang memungkinkan mereka untuk dipakai dalam sebaris kalimat yang padu.
‘Sejauh mana’ menuntut balasan dalam satuan jarak atau paling tidak sebuah batas. Bagaimana sesuatu yang nirinderawi sanggup diberi jarak dan batas? Apakah apabila saya menjawab “Seperti cinta yang kamu gunakan untuk mengasihi dirimu sendiri” akan dikatakan lebih besar nilainya daripada balasan “Yah, kira-kira cukup untuk menciptakan hatimu tidak merasa sepi”? Tentu saja tidak. Sebuah jarak atau batas sanggup menjadi sangat abstrak dan ambigu dalam sudut pengertiannya.
‘Boleh mencintai’ menciptakan saya berpikir apakah sobat saya itu berpikir jikalau saya telah melaksanakan kesalahan dengan menyampaikan jikalau saya mengasihi dia. Saya selalu mengaitkan antara kata-kata ‘boleh dan tidak boleh’ dengan ‘terhormat dan tidak terhormat’. Kalau saya melaksanakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan saya merasa saya sedang melaksanakan sesuatu yang tidak terhormat. Entah bagaimana bisa demikian saya sendiri tidak tahu, mungkin terpengaruh dengan bagaimana saya dibesarkan.
Suatu saat Umar ra mendengar seseorang bercerita kepadanya bahwa seseorang sedang dilanda cinta. Umar ra berkata “Itu bukan hal yang bisa dihindari. Itu merupakan ketetapan dari Ar Rahman.”
Saya membawakan hadits ini bukan sebagai pembelaan bahwa cinta itu selalu benar dan diperbolehkan. Ada banyak cinta yang dipandang dan ditunjukkan dengan cara yang salah dan merusak. Tapi saya tidak sedang membicarakan dilema yang demikian. Cinta itu berbeda dengan rasa yang lain. Cinta bukanlah sebuah pilihan. Seseorang sanggup saja menentukan untuk tidak marah-marah tapi beliau tidak bisa menentukan untuk tidak mengasihi saat sedang ada cinta di hatinya. Cinta itu semacam flora yang hanya bisa ditanam dan dicabut oleh yang memberikannya yaitu Tuhan. Seseorang tidak bisa tidak boleh atau disuruh untuk mencintai. Saya eksklusif beropini cinta itu bukan sesuatu yang terlarang atau tidak baik. Tidak selama kita tidak membenturkannya dengan nilai-nilai, atau angan-angan, atau rasa memiliki, atau mengambil tindakan untuk memperlihatkan secara kasatmata ketiga hal itu.
‘Milik orang lain’ ialah frase yang paling tidak saya pahami dari kalimat itu. Memiliki orang lain ialah sesuatu yang rasanya menyinggung sisi kemanusiaan saya. Betapapun besar cinta seseorang kepada orang lain, hal itu tetap saja bukan alasan baginya untuk merasa mempunyai orang itu. Memiliki yang saya maksud disini ialah mempunyai dalam pengertian fundamental bagi sebuah klaim kepemilikan, bukan pengertian secara umum. Karena jikalau contohnya ada orang yang bertanya pada saya “Are you single?” maka sudah terang saya akan menjawab “No, I belong to him.” Klaim kepemilikan mutlak hanya boleh dinyatakan oleh Tuhan saja.
Pertanyaan yang menggelisahkan itu tidak hanya menciptakan saya berpikir keras tetapi juga menciptakan saya memandang pada diri saya sendiri. Barangkali itulah gunanya teman. Memicu timbulnya kesadaran kita untuk memperbaiki diri. Saya berterimakasih untuk pertanyaan itu, untuk kegelisahan saya dan juga untuk beberapa pemahaman yang tiba pada saya berkaitan dengan hal itu. Saya merasa saya diberkati walaupun rasanya masih perlu waktu yang usang sebelum saya bisa menawarkan balasan yang serius dan bertanggungjawab terhadap pertanyaan itu.
by: capung